Beranda | Artikel
Syarat dan Rukun Jual-Beli
Selasa, 20 April 2021

Alhamdulillah, pada kesempatan kali ini kami akan mencoba membahas syarat dan rukun jual beli. Semoga pembahasan ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

Jual-beli adalah aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dengan adanya jual-beli, manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala halalkan jual beli. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).

Namun, jual beli memiliki syarat dan rukun yang akan mempengaruhi keabsahan jual beli. Orang yang melakukan jual beli hendaknya memperhatikan terpenuhinya syarat dan rukun jual beli tersebut.

Rukun jual beli

Dari penjelasan para ulama, bisa kita simpulkan bahwa jual beli memiliki empat rukun, yaitu:

1. adanya pembeli

2. adanya penjual

3. adanya barang

4. adanya shighah atau ijab-qabul.

Dalam kitab Al-Fiqhul Muyassar dijelaskan, “Rukun jual-beli ada tiga: pihak yang berakad (penjual dan pembeli), ma’qud ‘alaihi (barang), dan shighah. Pihak yang berakad di sini mencakup penjual dan pembeli. Sedangkan ma’qud ‘alaihi adalah barangnya. Dan shighah adalah ijab dan qabul” (Al-Fiqhul Muyassar, hal. 211).

Tidak disebut jual-beli tanpa ada empat komponen di atas. Adapun penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan, tentu ini mudah dipahami bahwa jual-beli tidak akan terjadi tanpa tiga hal tersebut.

Sedangkan shighah jual-beli adalah ucapan atau perbuatan yang menunjukkan adanya maksud dari kedua belah pihak untuk melakukan jual-beli. Shighah bisa berupa ucapan atau cukup dengan perbuatan. Disebutkan secara ringkas oleh Ibnu Balban ad-Dimasyqi rahimahullah dalam matan Akhsharul Mukhtasharat,

ينْعَقد بمعاطاة وبإيجاب وَقبُول

“Jual-beli sah dengan mu’athah (adanya pertukaran barang antara penjual dan pembeli) dan ijab-qabul”.

Mu’athah adalah istilah lain untuk shighah fi’liyah, dan ijab-qabul adalah istilah lain untuk shighah qauliyah. Dalam kitab Al-Iqna, Al-Hajjawi rahimahullah menyebutkan,

وله صورتان ينعقد بهما: إحداهما الصيغة القولية وهي غير منحصرة في لفظ بعينه بلى كل ما أدى معنى البيع … والثانية: الدلالة الحالية – وهي المعاطاة – تصح في القليل والكثير ونحوه

“Jual beli memiliki dua bentuk. Yang pertama adalah shighah qauliyah yang tidak terhitung jenis lafadz-nya, yaitu semua lafadz yang menunjukkan maksud untuk berjual-beli .. Yang kedua adalah dalalah haliyah (yaitu almu’athah) yang sah hukumnya baik untuk barang yang sedikit ataupun banyak” (Al Iqna’, 2/56-57).

Dalam Al-Fiqhul Muyassar dijelaskan, “Ijab adalah lafadz yang diucapkan oleh penjual. Semisal dia berkata, “Saya jual barang ini …”. Adapun qabul, dia adalah lafadz yang diucapkan oleh pembeli. Semisal dia berkata, “Saya beli barang ini…”. Ini adalah bentuk shighah qauliyah (ucapan). Shighah juga bisa berupa fi’liyah (perbuatan), yaitu dengan mu’athah. Mu’athah adalah serah-terima barang. Contohnya ketika pembeli menyerahkan uang kepada penjual, lalu penjual memberikan barangnya kepada pembeli, tanpa ada perkataan apa-apa” (Al-Fiqhul Muyassar, hal. 211-212).

Baca Juga: Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka

Syarat Jual Beli

Sedangkan syarat jual beli ada tujuh syarat. Ibnu Balban rahimahullah mengatakan, “Dengan memenuhi tujuh syarat: [1] adanya rida antara dua pihak, [2] pelaku jual-beli adalah orang yang dibolehkan untuk bertransaksi, [3] yang diperjual-belikan adalah harta yang bermanfaat dan mubah (bukan barang haram), [4] harta tersebut dimiliki atau diizinkan untuk diperjual-belikan, [5] harta tersebut bisa dipindahkan kepemilikannya, [6] harta tersebut jelas tidak samar, [7] harganya jelas” (Akhsharul Mukhtasharat, hal. 164).

1. Adanya rida dari kedua belah pihak

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan rida (suka sama-suka) di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa: 29).

Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah menjelaskan, “Jual-beli harus disertai rida dari kedua pihak. Contoh yang tidak memenuhi syarat ini adalah perampasan. Jika barang dagangan diambil tanpa keridaan pemiliknya, maka jual-beli seperti ini batal. Karena penjualnya tidak rida. Demikian juga karena penjualnya belum ridha dengan harganya. Baik perampasan ini karena pembelinya segera ingin memiliki barangnya … atau karena harga yang ditawarkan terlalu sedikit. Demikian juga, (termasuk jual-beli yang batal) jika pembeli dipaksa untuk membeli. Maka jual-beli seperti ini batal” (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25: 7).

2. Pelaku jual-beli adalah orang yang dibolehkan untuk bertransaksi

Maksudnya, pelaku jual beli adalah orang yang baligh dan berakal sehat. Syaikh ‘Abdullah Al-Jibrin rahimahullah menjelaskan, “Pelaku transaksi haruslah orang yang dibolehkan untuk bertransaksi. Baik penjualnya maupun pembelinya. Jika pelakunya orang yang safih (dungu), atau anak kecil, atau orang gila, atau hamba sahaya, maka tidak sah jual-belinya.

Namun para ulama membolehkan anak kecil untuk menjual atau membeli pada al-muhqarat (barang-barang yang nilainya kecil). Anak kecil di bawah 10 tahun atau sekitar itu jika datang kepada Anda dengan membawa 1 atau 5 riyal, lalu ingin membeli sesuatu dari anda, maka penuhilah. Karena bentuk transaksi yang seperti ini sah berdasarkan ‘urf. Karena secara umum, bentuk transaksi seperti ini dianggap wajar (dalam ‘urf). Adapun jika anak kecil membawa uang yang banyak seperti 50 atau 100 riyal, maka hukum asalnya ini bukan atas perintah walinya. Yaitu dia mengambil uang dari walinya tanpa izin, sehingga transaksi seperti ini tidak sah” (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25: 8).

Baca Juga: Adakah Batasan Keuntungan Dalam Jual Beli?

3. Yang dijual adalah harta yang bermanfaat dan mubah

Barang yang diperjual-belikan haruslah berupa al-maal. Dan suatu hal disebut dengan al-maal, jika ia memiliki nilai manfaat dan mubah (boleh digunakan).

Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah menjelaskan, “Barang yang diperjual-belikan haruslah berupa al-maal. Dan al-maal adalah semua yang mengandung manfaat dan mubah. Maka tidak boleh menjual sesuatu yang tidak bermanfaat. Atau, yang bermanfaat namun haram digunakan, seperti khamr. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

“(Judi dan khamr) mengandung manfaat bagi manusia. Namun dosanya lebih besar dari manfaatnya” (QS. Al Baqarah: 219).

Demikian juga tidak boleh menjual barang yang manfaatnya tidak mutlak, seperti anjing. Karena walaupun anjing mengandung manfaat untuk menjaga ladang dan berburu, namun manfaat ini hanya sifatnya khusus bagi orang yang membutuhkan saja. … Dan dibolehkan menjual barang yang bermanfaat walaupun haram dimakan. Seperti menjual keledai jinak, manfaatnya termasuk mubah. Dan secara ‘urf, manusia membutuhkannya untuk membawa barang atau untuk ditunggangi. Walaupun memang dia haram dimakan. Maka memperjual-belikannya boleh” (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25/9).

4. Barangnya dimiliki atau diizinkan untuk dijual

Dari Hakim bin Hizam radhiallahu’anhu, ia berkata,

يا رسول الله يأتيني الرجل فيسألني البيع ليس عندي ، أبيعه منه ثم أبتاعه له من السوق ؟ فقال: (لا تبع ما ليس عندك)

“Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku, lalu ia memintaku untuk menjual barang yang belum aku miliki. Yaitu saya membelinya dari pasar lalu aku menjual barang tersebut kepadanya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lalu bersabda, “Jangan Engkau menjual barang yang bukan milikmu” (HR. Tirmidzi no. 1232, disahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Maka barang yang diperjual-belikan haruslah dimiliki terlebih dahulu atau ia milik orang lain namun diizinkan untuk dijual. Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah menjelaskan, “Barang yang dijual harus dimiliki atau diizinkan untuk dijual. Contoh yang tidak memenuhi syarat ini adalah jika seseorang menjual barang yang bukan miliknya. Maka janganlah seseorang menjual kambing milik orang lain, atau rumah milik orang lain, walaupun rumah itu milik ayahnya atau ibunya. Kecuali jika ia dijadikan sebagai wakil dan diizinkan untuk menjualnya. Maka ketika itu ia berposisi sebagai pemilik barangnya” (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25: 10).

Namun, syarat ini berlaku untuk barang yang mu’ayyan (spesifik) bukan pada barang yang maushuf. Syaikh Abdullah Al Jibrin rahimahullah menjelaskan,

وهذا يعتبر من الشروط المشهورة، وهو كون البائع مالكاً للعين أو وكيلاً في تلك العين مأذوناً له فيها

“Syarat ini adalah syarat yang dikenal para ulama. Yaitu, penjual berlaku sebagai pemilik barang yang spesifik atau ia wakil dari barang yang spesifik tersebut yang diizinkan untuk menjualnya” (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25: 10).

Contohnya, “mobil merah milik pak Prasetyo”. Ini contoh barang yang spesifik. Maka tidak boleh dijual kecuali oleh pak Prasetyo atau sebagai wakil dari pak Prasetyo.

Adapun menjual barang yang maushuf (hanya disebutkan sifat-sifatnya saja), tidak spesifik, maka tidak harus dimiliki terlebih dahulu. Seperti pada akad salam. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

السلم هو على شيء موصوف في الذمة ، فالفرق أن قوله صلى الله عليه وسلم ( لا تبع ما ليس عندك ) يقصد المعين .أما الموصوف في الذمة : فهذا غير معين . ولهذا نطالب الذي باع الشيء الموصوف بالذمة ، نطالبه بإيجاده على كل حال

“Akad salam itu menjual barang yang maushuf fi dzimmah (dideskripsikan sifatnya dengan tempo tertentu). Bedanya dengan sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam: jangan menjual yang belum menjadi milikmu, yang dimaksud dalam hadis ini adalah barang yang sudah ada dan spesifik. Adapun barang yang maushuf fi dzimmah itu tidak spesifik. Oleh karena itu, orang yang menjual dengan akad salam diminta untuk menghadirkan barang yang dideskripsikan tersebut dengan bagaimana pun caranya.” (Syarhul Kafi fi Fiqhil Imam Ahmad, 1: 1274, Asy Syamilah).

5. Barang harus bisa diserahkan

Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah menjelaskan, “Barang yang diperjual-belikan harus bisa diserahkan. Jika tidak bisa diserahkan, maka tidak sah akadnya. Para ulama mencontohkan dengan jual beli unta yang kabur. Secara umum, unta yang kabur itu tidak bisa ditemukan lagi. Terkadang bisa dikejar dengan kuda, namun tidak bisa ditangkap. Andaikan bisa dikejar dengan kuda, biasanya unta akan mengalahkan kudanya. Terkadang unta akan menendangnya sampai terjatuh. Maka para ulama mengatakan: tidak boleh menjual unta yang kabur … Demikian juga menjual budak yang kabur. Karena dia tidak mungkin untuk diserahkan. Demikian juga menjual burung yang terbang di udara” (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25: 11).

6. Barangnya jelas, tidak samar

Dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, ia berkata,

نَهَى رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ عن بَيْعِ الحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melarang jual beli dengan mengundi kerikil dan melarang jual beli gharar” (HR. Muslim no. 1513).

Jual beli gharar adalah jual beli yang terdapat unsur ketidak-jelasan. Maka barang yang diperjual-belikan harus jelas. Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah menjelaskan, “Barang yang dijual harus bisa dilihat atau jelas sifat-sifatnya. Contoh barang yang bisa dilihat seperti unta, dia bisa dilihat dan diperhatikan. Juga seperti pakaian yang bisa dibolak-balik (untuk dicek). Juga seperti kuali yang bisa diangkat dan diperhatikan (untuk dicek). Juga seperti buku yang bisa dibolak-balik lembarannya dan bisa dikenali. Maka menjual barang-barang seperti ini hukumnya sah setelah dilihat dan dibolak-balik (dicek).

Adapun barang yang tidak ada di tempat, maka harus disebutkan sifat-sifatnya secara detail sehingga tidak mungkin salah atau tertukar” (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25: 12).

7. Harganya jelas

Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah menjelaskan, “Harga barang harus diketahui. Karena harga adalah salah satu dari al-‘iwadh (yang ditukarkan dalam jual-beli). Dan al-‘iwadh itu harus jelas bagi kedua pihak. Maka uang yang harus dibayarkan oleh pembeli haruslah jelas” (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25: 13).

Demikian juga dalam akad ijarah (sewa-menyewa). Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah menjelaskan, “Pemilik usaha wajib menentukan upah yang jelas. Ia tidak boleh mempekerjakan orang seperti itu yaitu tanpa upah yang jelas. Karena ini akan membawa kepada perselisihan dan permusuhan. Karena ini merupakan bentuk upah yang majhul (tidak jelas), maka tidak diperbolehkan” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 1: 1481).

Dan dibolehkan tidak menyebutkan harga dengan pasti ketika akad, ketika harganya sudah sama-sama diketahui. Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah mengatakan, “Contohnya jika ada orang berkata, “Saya ingin beli beberapa kantong ini, tolong ambilkan 10 buah dengan harga yang sama seperti di pasar”. Di sini tidak jelas berapa harganya. Para ulama khilaf tentang jual-beli seperti ini. Namun yang lebih tepat, jual-beli seperti ini boleh jika harganya sudah diketahui secara ‘urf. Ulama yang melarang hal ini mereka mengkhawatirkan termasuk dalam jual beli yang majhul (tidak jelas)” (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25: 13).

Wallahu a’lam. Semoga pembahasan syarat dan rukun jual beli yang sedikit ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Baca Juga: Serba-Serbi Jual Beli Online Dalam Islam

Penulis: Yulian Purnama


Artikel asli: https://muslim.or.id/62249-syarat-dan-rukun-jual-beli.html